Friday, May 3

Hakikat Rezeki dan Ridha

amirfath.com, Artikel (281),September 2023 Setiap orang harus mempunyai kepribadian yang sudah Allah SWT titipkan kepadanya. Dari kepribadian tersebut, Allah SWT sediakan rezekinya.

Karena itu, janganlah seseorang ikut-ikutan kepribadian orang lain. Jadilah Anda sebagai pribadi yang sebenarnya. Tidak perlu Anda meniru pribadi orang lain. Sebab, masing-masing orang membawa nasibnya sendiri-sendiri.

Tidak semua nasib orang lain bisa dipaksakan menjadi nasib Anda. Orang yang suka meniru orang lain, ia tidak akan pernah menemukan dirinya sendiri.

Tidak semua nasib orang lain bisa dipaksakan menjadi nasib Anda. Orang yang suka meniru orang lain, ia tidak akan pernah menemukan dirinya sendiri.

Ingat bahwa Allah SWT telah menyiapkan rezeki bagi masing-masing makhluk-Nya. “Wa maa min daabbatin fil ardhi illaa ‘alallahi rizquhaa” (QS Hud: 6).

Kata “dabbah” diartikan dengan binatang melata. Bila binatang melata saja terjamin rezekinya, apalagi manusia sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi. “Walaqad karramanaa banii aadama” (QS al-Isra: 70).

Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang burung yang keluar di pagi hari perutnya kosong, lalu pulang di sore hari perutnya kenyang (Taghduu khimaasha wa taruuhu bithaanaa) (HR Turmidzi).

Ini bukti bahwa sekalipun burung-burung itu tidak mempunyai lapangan kerja, rezekinya tetap terjamin. Jadi tidak usah khawatir kelaparan. Semua sudah dipastikan rezekinya oleh Allah SWT.

Dalam hadis Qudsi, Allah SWT menyebutkan bahwa telah mengharamkan terhadap diri-Nya berbuat zalim. “Inni harramtuzh zhulma ‘alaa nafsii” (HR Muslim). Artinya, jika ada orang kelaparan itu bukan faktor langit, tetapi karena ulah manusia sendiri yang berbuat zalim.

Maka selama rezeki itu di tangan Allah SWT, tenanglah. Apalagi Allah SWT menegaskan bahwa di langit itulah rezekimu. “Wa fis samaai rizqukum” (QS adz-Dzariyat: 22).

Dari sini kita paham bahwa tugas kita hanyalah berusaha. Adapun hasilnya biarkan Allah SWT yang mengatur.

Allah SWT menegaskan bahwa kewajiban manusia hanyalah berusaha, bukan memaksa Allah ikut kemauannya. “Wa an laisa lil insaani ilaa maa sa’aa” (QS an-Najam: 39).

Di sini kita mengerti mengapa harus beriman kepada takdir. Bahwa apa pun yang menimpa kita, baik atau buruk, itu adalah takdir Allah SWT. Tugas kita hanya ridha terhadap apa yang telah ditakdirkan dan yakin bahwa apa yang Allah SWT takdirkan pasti baik. Dengan cara seperti ini hati kita akan tenang.

Tugas kita hanya ridha terhadap apa yang telah ditakdirkan dan yakin bahwa apa yang Allah SWT takdirkan pasti baik. Dengan cara seperti ini hati kita akan tenang.

Jadi ketenangan itu bukan karena fasilitas. Akan tetapi karena keridhaan kita terhadap takdir-Nya. Semakin seorang hamba ridha dengan apa yang Allah SWT takdirkan, maka ia akan semakin bahagia.

Kapan seorang hamba ini akan terus terombang-ambing dalam kegelisahan?

Ketika ia suka membanding-bandingkan nasib dirinya dengan nasib orang lain, maka ia akan terus mengalami kekecewaan terhadap takdir Allah SWT, karena ia melihat nasib dirinya lebih rendah dari apa yang didapatkan orang lain.

Sungguh seandainya ia ridha dengan apa yang Allah SWT berikan kepadanya dan menerima semua ketentuan-Nya dengan lapang dada, maka ia akan tenang dan bahagia.

Dulu para sahabat menjadi generasi terbaik karena keridhaan mereka terhadap apa yang Allah SWT berikan, apapun beratnya. Mereka ridha dengan takdir-Nya yang harus mereka jalani.

Sungguh seandainya ia ridha dengan apa yang Allah SWT berikan kepadanya dan menerima semua ketentuan-Nya dengan lapang dada, maka ia akan tenang dan bahagia.

Mereka berlomba untuk tidak mengeluh atas semua kondisi yang mereka alami. Luka dan perih yang mereka rasakan pada saat perang, entah tangan yang patah atau panah menancap ke tubuh, atau biji mata yang tercungkil, itu semua tidak membuat mereka mengeluh atau berkata “aduh” sedikit pun. Mereka ridha menerima ketentuan dengan sepenuh hati.

Imam Ibnul Jauzi mengatakan, para pendahulu kita adalah orang-orang yang berlomba untuk tidak mengeluh atas takdir yang menimpa mereka. “Innas salafa yatasabuquuna allaa yataawwah”.

Karena itu, dalam surah al-Bayyinah: 8, Allah SWT memberikan gelar atas mereka sebagai pribadi yang ridha dan diridhai. “Radhyallahu ‘ahum wa radhuu ‘anhu” (Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.

Sifat ridha ini selalu kita ucapkan setiap kali kita menyebut nama para sahabat tersebut. Itulah mengapa kita diajarkan agar setiap hari mengucapkan zikir khusus sekaligus ikrar dengan mengucapkan:

Radhiitu billahi rabbaa wabil islammi diinaa wa bimuhammadain nabiyyaw warasuuulaa” (Aku ridha dengan Allah sebagai Tuhanku, aku ridha dengan Islam sebagai agamaku, dan aku ridha dengan Rasulullah sebagai rasulku) dan siapa yang membaca ini dijamin masuk surga (wajabat lahul jannah). (HR Abu Daud).

sumber : https://www.republika.id/posts/45352/hakikat-rezeki-dan-ridha

About Post Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *